Cari Blog Ini

Jumat, 23 Desember 2011

MOTIVASI DALAM STRATEGI PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN ‘ARCS’

MOTIVASI DALAM STRATEGI PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN ‘ARCS’
A.   Pendahuluan
Dalam penyelengaraan pendidikan ditemukan beberapa masalah yang komplek yang pemecahannya tidak hanya cukup didekati secara sains tetapi juga secara filosofis. Seperti persoalan pembelajaran atau kegiatan belajar di kelas terkadang dijumpainya gejala yang tidak seimbang dimana seorang guru atau dosen sekedar menyampaikan bahan perkuliahan atau mengajar tidak dilandasi kesadaran ingin memahamkan siswa - mahasiswa sehingga audiencesiswa dan mahasiswa kurang respek dan tidak merespon dengan baik.
Dalam makalah ini penulis memberikan sumbang sih pemikirannya untuk menangulangi keadaan seperti tersebut, yakni dengan pembelajaran dengan pendekatan ARCS.
Dalam penyelenggaraan pendidikan diperlukan adanya pendirian sebagai kebijakan idiologi yang mempunyai visi tertentu terhadap pendidikan. Kaitan dengan pendidikan secara bersamaan muncul permasalahanpermasalahan pendidikan yang perlu dicarikan pemecahannya. Permasalahan dalam pendidikan sangatlah komplek sehingga tidak cukup didekati dengan perspektif ilmu  pengetahuan semata namun perlu di cari pemecahannya secara filosofis.
B.  Pembahasan
Keller telah menyusun seperangkat prinsip-prinsip motivasi yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran, yang disebut sebagai model ARCS, Suciati, dkk (2001) maka setiap guru/ dosen berusaha untuk menerapkan prinsip-prinsip motivasi di atas dalam proses pembelajaran, mengingat kunci untuk mengkondisikan siswa/mahasiswa dalam pembelajaran adalah guru/dosen.
Keempat kondisi motivasional tersebut dijelaskan sebagai berikut:
  1. Attention (perhatian)
  2. Relevance (relevansi)
  3. Confidence (kepercayaan diri)
  4. Satisfaction (kepuasan) Atau ARSC model.

  1. Attention (Perhatian)
Perhatian adalah bentuk pengarahan untuk dapat berkonsultasi/ pemusatan tenaga dan energi psikis dalam menghadapi suatu objek, dalam hal ini peristwa proses mengajar, belajar di kelas, Perhatian dapat berarti sama dengan konsentrasi, dapat pula menunjuk pada minat ‘momentain’ yaitu perasaan tertarik pada suatu masalah yang sedang dipelajari (WS. Winkel, 100).
Konsentrasi/perasaan siswa dan minat dalam belajar, siswa yang perasaannya senang akan membantu dalam konsentrasi belajarnya dan sebaliknya siswa dalam kondisi tidak senaag maka kurang bermmat dalam belajarnya dan mengalami kesulitan imtuk berkonsentrasi terhadap pelajaran yang sedang berlangsung. Gangguan itn pada dasarnya bersumber pada salah satu dari dua
alasan yang tak berkaitan belajar yaitu pembuyaran konsentrasi yang timbul dari
din siswa (intrinsik) atau dari luar (extrinsik).
  1. Relevance (Relevansi)
Seperti halnya proses belajar umumnya jika seseorang tidak memiliki motivasi yang kuat dalam belajar, maka mustahil mereka akan mampu mempelajari dengan baik. Tugas fasilitator yakni membangkitkan dan menciptakan cara-cara kreatif untuk memotivasis partisipan (Mausour Fakih, 2000: 57) sehingga keinginan tersebut menjadi seperangkat kebutuban yang menjadi landasan kita untuk bertindak; teori kebutuhan menurut Maslows ada tujuh dari kebutuhan yang bersifat biologis sampai kepada non biologis diantaranya harga diri, ingin beraktualisasi diri. Ingin di terima dan menerima pihak lain dan seterusnya, hal tersebut menunjukkan adanya keinginan seseorang pada umumnya untuk berprestasi, Ingin menguasai orang lain namun juga, sportif bisa dikuasai orang lain menerima kekalahan dalam bersaing. Kebutuhan pribadi (basic need) di kelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu motif pribadi, motif instrumental, motif actual. Yang pertama nilai motif pribadi (personal motive, value) menurut Me Chelland mencakup tiga hal yaitu;
a. Kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement)
b. Kebutuhan untuk memiliki kuasa (used for power)
c. Kebutuhan untuk berafilisai (need for affiliation)
Yang kedua adalah nilai yang bersifat instrumental, dimana keberhasilan dalam mengerjakan suatu tugas dianggap sebagai langkah untuk mencapai keberhasilan lebih lanjut.Ketiga nilai kultural apabila tujuan yang ingin dicapaid konsisten atau sesuaidengan nilai yang di pegang. Oleh kelompok yang di acu oleh  mahasiswa,seperti orang tua, teman dan sebagainya, (Suciati dkk, 200 ; 56- 57). Siswa yang berhasrat berprestasi baik seperti tenadi bila ada mempunyai”Achievement motivation”, beraspirasi positif dan memiliki taraf aspirasi yang bersifat realistik- Siswa yang mempunyaii taraf  aspirasis yang tidak realistik sukar dapat dikatakan berhasrat berprestasi baik dan sekaligus menuntut tanggung jawab diri sendiri karena siswa itu cenderung menentukan target yang sebenarnya terlalu tinggi baginya atau terlalu rendah (Ws Wuikel 1987 : 97). Siswa. yang berhasrat tinggi untuk berprestasi baik, tetap menghadapi kemungkinan usahanya gagal. Qleh karena itu tetap disertai dorongan untuk mungkin dari kegagalan.
Menurut Hj M. Hermans, siswa yang memihki rasa tenggung jawab besar dan berhasrat herprestasi baik, menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Kecenderungan mengenalkan tugastugas belajar yang menantang namun tidak berada di atas taraf kemampuan.
  2. Keinginan untuk bekerja dan berusaha sendiri, serta menemukan penyelesaian masalah tersendiri.
  3. Keinginan kuat untuk maju dan mencari taraf keberhasilan yang sedikit di atas taraf yang telah tercapai sebelumnya.
  4. Orientasi pada masa depan; kegiatan belajar di pandang sebagai jalan menuju ke realisasi cita-cita.
  5. Pemilikan teman kena atas dasar kemampuan teman itu untuk menyelesaikan tugas belajar bersama, bukan atas dasar simpati atau perasaan senang terbadap teman itu.
  6. Keuletan dalam belajar biarpun menghadapi rintangan (WS. Winkel 1987:97-98).
Untuk tingkat sekolah menengah bisa jadi menggunakan penelitian dari HJM Herman yang dikemas dalam buku WS Winkel atau untuk menunjang ke arah relevansi belajar sekaligus membangun motivasi exstrensik dan motivasi intrinsik:
  1. Menjelaskan kepada siswa, mengapa suatu bidang studi di masukkan dalam kurikulum sekolah dan apa kegunaan untuk kehidupan kelak.
  2. Mengingatkan materi pelajaran dengan pengalaman siswa di luarlingkungan sejauh hal itu mungkin.
  3. Menunjukkan antusiasnya dalam  mengajarkan bidang studi yang dipegang dan menggunakan prosedur mengajar yang sesuai,
  4. Mendorong siswa untuk memandang belajar di sekolah sebagai suatu tugas yang tidak harus serba menekans ehingga siswa mempunyai intensi untuk belajar dan menyelesaikan  tugasnya dengan sebaik mungkin
  5. Menciptakan iklim dan suasana dalam kelas yang sesuai dengan kebutuhan siswa untuk mungkin dari kesesalan kelak bagi siswa yang cenderung takut gagal sehingga siswa ada yang perlu dituntun dan di dampingi.
  6. Memberitahukan hasil ulangan dalam waktu sesingkat mungkin dan mengembalikan tugas pekerjaan rumah yang telah di koreksi.
  7. Berpartisipasi dalam kegiatan ekstra kurikuler demi meningkatkan hubungan kemanusiaan dengan siswa.
  8. Menggunakan bentuk-bentuk kompetensi antara siswa dengan siswa / kelompok-kelompok siswa dengan menjaga jangan sampai kompetensis menjadi alasan untuk saling bermusuhan.
  9. Menggunakan insentif seperti pujian dan hadiah berupa materi secara wajar dan tidak berlebihan. Demikian pula hukuman dan celaan patut di berikan bila ada alasan cukup kuat. (WS. Winkel, 1987 : 100).
  1. Confidence (Peracaya diri)
Frejnan (dalam Mansour Fatah 2000 XIV) demi membangkitkan kesadaran kritis dalam proses memanusiakan manusia kembali. Sedang proses pembelajaran yang selama ini lebih banyak di kuasai guru (Teacher’s centered) dan lebih memproduk penghafal kata-kata bukan pada kemampuan bagaimana belajar dan akhimya setelah siswa tamat tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak ada kemamnuan “problem saving” di tengah masyarakat yang prural heterogen dan multi masalah.
Dalam reformasi pendidikan yang teriadi di Asia dan khususnya di Indonesia sangat cocok, mengingat tradisi proses belajar di lapangan, antara lain anak kurang mampu menerapkan ilmu yang diperoleh, tidak biasa menemukan sendiri pengetahuan sehingga kurang bermakna; maka pada akhirnya penampilan hidup dalam kehidupan masyarakat yang multi cultural, multi komplek permasalahan mereka tidak berkemampuan dan tidak percaya diri dan menganggur. Maka perlu adanya pendekatan proses yang membutuhkan kepercayaan diri, Strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kepercayaan;
  1. Meningkatkan harapan mahasiswa untuk berhasil dengan memperbanyak pengalaman berhasil mahasiswa, misal dengan menyusun perkuliahan agar dengan mudah difahami, di urutkan dari materi yang mudah ke sukar. Dengan demikian mahasiswa merasa mengalami keberhasilan sejak awal kuliah,
  2. Susunlah perkuliahan ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil, sehingga mahasiswa tidak di tuntuk untuk mempelajari terlalu banyak konsep baru sekaligus.
  3. Meningkatkan harapan untuk berhasil dengan menggunakan menyatakan persyaratan untuk berhasil, Hal ini dapat dilakukan dengan menyampaikan  tujuan perkuliahan dan kriteriates pada awal perkuliahan. Hal ini akan membantu mahasiswa mempunyai gambaran yang jelas mengenai apa yang diharapkan.
  4. Meningkatkan harapan untiik berhasil dengan menggunakan strategi yang memungkinkan kontrol keberhasilan di tangan mahasiswa sendiri,
  5. Tumbuh kembangkan kepercayaan diri mahasiswa dengan mengatakan: nampak anda telah memahami konsep ini dengan baik serta menyebut kelemahan mahasiswa sebagai halhal yang masih perlu dikembangkan.
  6. Berilah umpan balik yang konstruktif selama perkuliahan agar mahasiswa
mengetahui pemahaman dan prestasi belajar mereka sejauh ini,
  1. KEPUASAN SISWA
Adalah perasaan gembira, perasaan ini dapat positif yaitu timbul kalau orang mendapatkan penghargaan terhadap dirinya. Perasaan ini dapat meningkat kepada perasaan harga diri kelak (Butio Walgito, 1981 ; 140), membangkitkan semangat belajar diantaranya dengan:
  1. Mengucapkan “baik, “bagus” dan seterusnya bila siswa menjawab / mengajukan pertanyaan.
  2. Menunjukkan sikap no” verbal positif pada saat menanggapi pertanyaan /jawaban siswa misal acung jempol, angguk kepala.
  3. Memuji dan memberi dorongan, dengan senyuman, anggukan dan pandangan yang simpatik atas partisipasi siswa,
  4. Memberi tuntunan pada siswa agar dapat memberi jawaban yang benar.
  5. Memberi pengarahan sederhana agar siswa memberi jawaban yang benar (Sundari, dkk 1989 : 19).
Seperti halnya yang dinunuskan oleh Kolb yang mengembangkan empat fase siklus belajar sebagai berikut:
1.    Convegers ; mahasiswa yang mengandalkan konseptualisasi abstrak dan experiment aktif; mereka senang menemukan jawaban kongkrit dan bergerak dengan cepat untuk menemukan pemecahan masalah mereka membuat keputusan, tidak emosional senang bekerja dengan ide-ide.
2.    Divergers ; mahasiswa menggunakan pengalaman kongkrit dan pengalaman reflektif untuk memunculkan gagasan-gagasan mereka bagus dalam “branstorming dan membuat altematif dan senang berinteraksi dengan orang lain”.
3.    Assimiliators : mahasiswa senang mengasimilasikan berbagai informasi dan menyusun kembali berbagai informasi dan menyusun kembali dengan logika yang tepat, bagus membuat perencanaan, mengembangkan teori, model.
4.    Accomodator: mahasiswa bereksperimen aktif dengan strategi “‘trial dan error” pandai menyesuaikan diri dengan situasi barn (Hisyam dkk, hal. 125)


C.  Penutup
Dalam penyelenggaraan pendidikan diperlukan adanya pendirian sebagai kebijakan idiologi yang mempunyai visi tertentu terhadap pendidikan. Kaitan dengan pendidikan secara bersamaan muncul permasalahanpermasalahan pendidikan yang perlu dicarikan pemecahannya. Permasalahan dalam pendidikan sangatlah komplek sehingga tidak cukup didekati dengan perspektif ilmu  pengetahuan semata namun perlu di cari pemecahannya secara filosofis.
Demikian model pengajaran Keller (1983) yang telah dibahas dalam empat kondisi motivasi yang harus di miliki siswa yang di singkat ARCS yaitu Attention (perhatian),Relevance (relevansi),Confidence (kepercayaan diri) dan Satisfaction (kepuasan)


DAFTAR PUTAKA
Bimo Walgito .Psikologi Umum, 1981, FPSI, UGM Yogyakarta.
Mansour Fakih, dkk, Pendidikan Populer membangun kesadaran kritis, 2001,
Pustaka Pelajar, Yogya.
Manrey P. Driscall. Psychology of Learning for instructional Publishing, 1993,
Boston.
Melsiberman, Active learning (terjemahan) 2001, Yappendis, Yogya.
Hisyam Zaim dkk, Desain Pembelaiaran di PT. 2002, CTSD IAIN, Yogya.
Imam Barnadib,. Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode, FIP, IKJP Yogya,
Sumardi, Pendidikan Progresif: Paradiguana untuk mengejar ketertinggalan
kwalitas di Indonesia, 2003; UNS Press, SKA.
WS Winket Psikologi Pengajaran, 1987, Gramedia Jakarta.
S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar, 2000
Bumi Aksara, Jakarta.
Motivasi dalam Strategi Pembelajaran ... (Zaenal Abidin) 155
Suciati dkk, Teori Belajar dan motivasi, 2001, Proyek pengembangan UT Ditjen,
PT. Dep. Pendidikan Nasional.
Syaiful Bahri Djamari. Strategi belajar mengajar, 2002, Rineka Cipta, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar